Dampak Krisis Ekonomi di Pasar Matanggelumpang Dua

CHAIRUL BARIAH, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Kebangsaan Indonesia (Uniki) dan Anggota FAMe Chapter Bireuen, melaporkan dari Matangglumpang Dua, Bireuen

PASAR adalah tempat bertemunya penjual dan pembeli. Pasar juga sebagai tempat yang paling sering dikunjungi kaum perempuan, terutama ibu rumah tangga (IRT). Aktivitas  kaum ibu  tak pernah jauh  dari dapur. Pagi, siang, dan malam IRT selalu beru-saha menyediakan berbagai menu kesukaan keluarga.

Apabila salah satu anggota keluarga tidak menyukai makanan yang telah disediakan, sang ibu siap untuk memasak menu yang lain. Untuk menyediakan aneka menu favorit keluarga, maka IRT tidak jarang harus ber-belanja sendiri ke pasar.

Di Kabupaten Bireuen, sa-lah satu pasar tradisional yang menjual berbagai keperluan rumah tangga adalah pasar Ma-tangglumpang Dua. Letaknya di sisi jalan lintas nasional Banda Aceh Medan, berbatasan de-ngan terminal baru. Pasar ini  buka mulai  pukul 06.30 hing-ga 17.30 WIB.

arang-barang yang dijual kebutuhan pokok sehari-hari seperti beras, bumbu-bumbu kering dan basah, ikan, ayam, sayur, bawang merah, bawang putih, tomat, cabai,  serta  berbagai perlengkapan dapur lainnya.

Para pedagang di pasar ini sekarang sudah nyaman dalam melakukan aktivitas jual beli karena bangunan pasar telah dilengkapi atap kanopi sehinga pada saat hujan tidak ada kendala untuk melakukan transak-si. Bagi pedagang yang menju-al ikan tersedia tempat khusus sehingga tidak mengganggu pedagang lainnya.

Di sebelah timur sisi jalan dialokasikan sebagai tempat pedagang ayam, sedangkan di sebelah kanan jalan  tem-pat membeli kebutuhan ru-mah tangga, terutama perlengkapan dan bahan dapur. Sedangkan di sebelah barat ada pedagang yang menjual bumbu kering dan basah, ada juga penjual lontong sayur dan nasi  gurih.

Jika lapar sebelum atau se-sudah belanja kita dapat me-nikmati sepiring nasi gurih atau lontong sayur, serta  hangatnya secangkir teh atau kopi. Pemandangan ini sung-guh menggambarkan kehidup-an alami penduduk kampung. Mereka duduk di tepi jalan dekat jembatan menuju pa-sar, bercerita bersama teman dan sesekali tertawa lebar, seakan hidup tanpa beban.

Pagi itu menunjukan pukul 07.30 WIB, saya turun dari kendaraan di tempat parkir, kemudian menuju pasar un-tuk belanja.  Pelanggan te-tap pasar ini adalah para IRT, termasuk saya. Sebelum be-rangkat ke pasar sudah tere-kam di dalam benak lokasi dan tempat belanja yang nya-man dengan pelayanan yang memuaskan. Prinsip belan-ja yang saya terapkan adalah penjual harus jujur, jika ba-rangnya bagus katakan bagus jika tidak harus disampaikan juga agar pembeli puas, pen-jual pun nyaman. Alasan ini merupakan  salah satu daya tarik pasar tradisional dengan tempat berjualan yang tetap atau tidak berpindah-pindah.

Suasana pasar di hari Ming-gu lalu tidak terlalu ramai, pa-dahal biasanya banyak kenda-raan baik roda empat maupun roda dua parkir berjejer di tem-pat yang sudah disediakan, tetapi saat itu hanya terlihat

beberapa unit saja. Ketika ber-jalan dari satu toko ke toko yang lain, terlihat hanya seba-gian  toko yang pemilik atau pelayanannya sibuk melayani pembeli/pelanggan, sedang-kan yang lainnya ada yang se-dang duduk termenung, pa-dahal barang yang dijual juga tersedia di tokonya.

Setelah membeli ikan dan  daun pisang untuk membu-at pepes ikan, saya kemudi-an menuju toko yang menjual bumbu kering/rempah lain-nya. Ketika tiba di toko ter-sebut saya   hanya tertegun karena barang-barang di to-konya masih banyak, tetapi pembeli minim.

Berdasarkan hasil wawan-cara singkat saya dengan sa-lah seorang pelayan toko ke-lontong yang sering disapa dengan namanya Dek Pon, ternyata  menurutnya, pada saat masuki tahun 2023 ia sudah merasakan kurangnya pembeli. Namun, sebagai pe-dagang Dek Pon dan yang la-innya tetap optimis bahwa ke-adaan akan membaik.

 

Dari pengamatan di pa-sar Matangglumpang Dua, ti-dak terlalu banyak pembeli yang datang. Biasanya pa-sar selalu diserbu oleh kaum ibu dengan berbagai tingkah polahnya.  Salah satu pem-beli bernama Ibu Ida, berce-rita bahwa dulu ia membawa uang belanja Rp100.000 da-pat membeli beberapa ma-cam kebutuhan. Namun, saat ini hanya sebagian saja, se-lain dari beras yang mahal, harga ikan juga naik. Dulu berkisar antara Rp25.000-Rp35.000 per kilo, tetapi saat ini antara Rp50.000 sampai Rp70.000.

Menurut salah seorang penjual ikan di pasar Matab-gglumpang Dua hal ini dise-babkan sedikitnya nelayan yang melaut serta daya beli mengalami penurunan. Maka tak heran kalau masyarakat

hanya membeli secukupnya saja, bahkan terkadang meng-gantikannya dengan menu  yang  sejenisnya seperti ikan kaleng atau telur.

Pertumbuhan ekonomi ma-syarakat khususnya di Ma-tangglumpang Dua menga-lami penurunan. Hampir di setiap toko yang kami tanya-kan semuanya merasakan fase awal dari dampak krisis ekonomi. Hal ini menyebab-kan daya beli masyarakat ber-kurang, sedangkan pemilik toko terus berusaha meleng-kapi barang-barang sesuai ke-butuhan masyarakat. Ini men-jadi dilema bagi mereka.

Menurut pemilik salah satu toko grosir yang tak ingin di-sebutkan namanya, dampak krisis ekonomi memang su-dah terlihat, tetapi karena dia menjual kebutuhan pokok se-hari-hari tentunya telah ra-mai pelanggan tetapnya. Me-reka datang dari beberapa desa dalam Kecamatan Peu-sangan dan sekitarnya. Hanya saja perbedaannya pelanggan biasanya membeli satu ka-rung beras, tetapi saat ini me-reka memilih menurut takar-an bambu. Kebutuhan pokok menjelang Ramadhan juga te-lah mereka persiapkan.

Berdasarkan pantauan di pasar Matangglumpang Dua, harga kebutuhan pokok mengalami kenaikan seperti beras 15 kg seharga Rp187.000,  sedangkan cabai merah Rp40.000 per kg, bawang merah Rp48.000. “Bila diban-dingkan dengan beberapa bulan lalu barang-barang yang kami jual lebih murah saat ini, tetapi daya beli masyara-kat menurun,” ungkap Agus, pemilik toko kelontong, di su-dut  pasar.

Menjelang Idulfitri  toko pakaian sudah bersiap-siap menjual kebutuhan baju baru, tetapi mereka juga merasa-kan dampak dari krisis ekono-mi sehingga tak berani menja-min akan menjual baju  baru dalam jumlah banyak.

Daya beli masyarakat juga dipengaruhi oleh harga, seba-gaimana sampaikan oleh salah seorang penjual pakaian di Jalan Sinar Peusangan. Dia tidak dapat menjual pakaian dengan harga tinggi, padahal modal yang dikeluarkannya sudah cukup banyak. Mereka tersaingi oleh toko yang men-jual serba Rp 35.000.

Kehidupan masyarakat saat ini bukan lagi meman-dang gaya hidup, melainkan  sekadar memenuhi kebutuh-an. Keadaan ini jauh berbeda dengan tahun sebelumnya, sebagaimana cerita seorang pengelola toko kue dan kebu-tuhan pokok yang begitu terkenal pada masanya. Dulu, omset yang didapatnya per hari rata-rata Rp2.000.000, tetapi saat  ini ± Rp200.000.

Menurutnya, sulit untuk bertahan, tetapi karena tun-tutan untuk memenuhi kebu-tuhan keluarga sendiri ser-ta menjaga hubungan dengan para pelanggan, sementara ini tetap saja berjualan dengan harapan semoga menje-lang Ramadhan harga-harga normal kembali.

Krisis ekonomi dalam masyarakat mulai terasa, banyak pembangunan rumah terhenti karena harga material yang mahal. Ada juga keluarga yang terpaksa membiarlan anaknya bekerja menjadi kuli bangunan walaupun usianya masih di ba-wah umur demi memenuhi ke-butuhan keluarga sehari-hari,  belum lagi ongkos dan uang jajan untuk pergi ke sekolah. Kondisi ini sungguh menyayat hati dan semoga segera berla-lu.<[email protected]

 

Artikel ini telah terbit di : https://aceh.tribunnews.com/2023/03/16/dampak-krisis-ekonomi-di-pasar-matangglumpang-dua