Saat Seudati Kalah dari ‘Dance Challenge’ TikTok, Masa Depan Seni Aceh Berangsur Punah?

UMUL AIMAN, M.Pd., Dosen dan Ketua Prodi Pendidikan Seni Pertunjukan FKIP Universitas Islam Kebangsaan Indonesia (Uniki) Bireuen, melaporkan dari Bireuen

Seni budaya adalah jati diri suatu bangsa. Namun, di era digital yang berkembang pesat, seni tradisional sering kali terpinggirkan oleh tren budaya global yang lebih modern dan dinamis. Salah satu contoh nyata yang terjadi di Aceh adalah semakin pudarnya seni tari seudati, yang kini mulai kalah pamor dibandingkan dengan tantangan dance (dance challenge) di platform seperti TikTok.

Ironisnya, banyak dari tantangan ini bukan sekadar gerakan tari biasa, melainkan menampilkan lekuk tubuh atau bahkan mempertaruhkan harga diri demi mendapatkan ‘give’ atau hadiah virtual dari penonton.

Seudati, sebagai salah satu warisan budaya Aceh yang sarat makna, mengandung nilai sejarah, agama, dan kekuatan ekspresi yang mendalam. Sayangnya, banyak generasi muda Aceh kini lebih memilih mengikuti tren ‘dance’ modern dari luar negeri yang viral di media sosial dibandingkan mempelajari atau bahkan sekadar menonton pertunjukan seudati.

Pertanyaannya, apakah ini sekadar fenomena perubahan zaman atau ada yang salah dalam cara kita melestarikan seni tradisional?

Seudati mulai dilupakan

Seudati bukan sekadar tarian biasa. Tarian ini memiliki akar yang kuat dalam sejarah Aceh, berkembang sebagai bagian dari perlawanan rakyat terhadap penjajahan. Gerakan yang tegas, ritme yang cepat, dan syair yang sarat makna menjadikan seudati sebagai seni pertunjukan yang tidak hanya indah secara estetika, tetapi juga penuh filosofi.

Seudati mencerminkan keteguhan dan kekuatan masyarakat Aceh yang berlandaskan nilai-nilai Islam.

Dahulu, seudati menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat Aceh. Pertunjukan seudati bukan hanya hiburan, tetapi juga media dakwah dan penyampai pesan moral. Namun, kini tarian ini semakin jarang ditampilkan, bahkan di daerah asalnya sendiri. Sementara itu, di media sosial, tren ‘dance challenge’ yang tidak memiliki unsur budaya dan sejarah justru semakin digandrungi oleh remaja Aceh.

Kemajuan teknologi telah mengubah cara manusia mengakses hiburan dan berinteraksi dengan budaya. TikTok, sebagai salah satu media sosial yang paling populer di kalangan remaja, memungkinkan siapa saja untuk menjadi kreator konten dengan mudah. Melalui fitur algoritma yang canggih, TikTok mampu membuat tren ‘dance challenge’ cepat menyebar dan menjadi viral dalam waktu singkat.

Anak-anak muda Aceh kini lebih banyak menghabiskan waktu mereka untuk mengikuti ‘dance challenge’ yang diadaptasi dari budaya Barat atau Korea. Tantangan-tantangan ini dianggap lebih modern, lebih keren, dan lebih mudah diakses dibandingkan mempelajari seni tradisional seperti seudati, yang membutuhkan latihan intensif dan pemahaman mendalam terhadap budaya Aceh.

Ironisnya, banyak ‘dance challenge’ yang diminati justru menampilkan gerakan yang bertolak belakang dengan nilai-nilai budaya dan agama Aceh. Tidak sedikit remaja yang dengan sadar mengeksploitasi tubuh mereka untuk mendapatkan perhatian dan ‘give’ dari penonton, bahkan terkadang mempertaruhkan harga diri demi popularitas instan. Ini menjadi fenomena yang mengkhawatirkan, di mana generasi muda lebih tertarik pada validasi digital ketimbang mempertahankan jati diri dan budaya mereka.

Tanggung jawab siapa?

Tidak bisa disangkal bahwa budaya global memiliki daya tarik yang sangat kuat, terutama bagi generasi muda yang ingin merasa relevan dengan tren dunia.

Namun, pertanyaannya, apakah ini sepenuhnya salah media sosial dan budaya pop? Atau justru kita sendiri yang gagal dalam menjaga dan mempromosikan seni budaya kita kepada generasi muda?

Banyak faktor yang menyebabkan seudati dan seni tradisional lainnya semakin ditinggalkan. Salah satunya adalah kurangnya inovasi dalam cara seni ini diajarkan dan dipertunjukkan kepada masyarakat. Jika seni tradisional tidak beradaptasi dengan perkembangan zaman, maka generasi muda akan semakin sulit untuk mengapresiasinya.

Di sisi lain, kurangnya kontrol terhadap konsumsi digital anak muda juga menjadi faktor utama. TikTok tidak hanya menyajikan hiburan, tetapi juga menghadirkan konten yang bisa berbahaya bagi mental dan moral remaja, termasuk budaya ‘live streaming’ demi mendapatkan ‘give’ dari orang yang bahkan tidak dikenal.

Budaya ini sangat jauh dari nilai-nilai yang diajarkan dalam seni tradisional Aceh seperti seudati yang menjunjung tinggi martabat dan etika.

Menyelamatkan seudati

Meskipun seudati mulai kalah populer dibandingkan ‘dance challenge’ di TikTok, bukan berarti tarian ini tidak bisa bangkit kembali. Justru, era digital bisa menjadi peluang untuk mengenalkan kembali seudati kepada generasi muda dengan cara yang lebih kreatif dan inovatif.

Salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah membawa seudati ke dunia digital itu sendiri. Misalnya, membuat tantangan seudati di TikTok, mengemasnya dalam format yang menarik dan mudah diikuti oleh anak muda.

Jika ‘dance challenge’ dari luar negeri bisa viral, mengapa tidak coba membuat ‘Seudati Challenge’ agar anak muda Aceh kembali mengenal dan mencintai budayanya sendiri?

Selain itu, seniman dan komunitas budaya juga bisa memanfaatkan media sosial untuk mengedukasi masyarakat tentang sejarah dan makna seudati. Video pendek, vlog, atau dokumenter ringan bisa dibuat untuk menarik minat anak muda agar mereka lebih memahami dan menghargai seni tradisional Aceh.

Pemerintah dan institusi pendidikan juga harus lebih aktif dalam mendukung pelestarian seni ini. Program ekstrakurikuler di sekolah, festival budaya, serta kolaborasi antara seniman dan ‘influencer’ media sosial dapat menjadi strategi yang efektif untuk menghidupkan kembali minat terhadap seudati.

Lebih dari itu, pengawasan terhadap konten yang dikonsumsi oleh anak muda juga perlu diperketat agar mereka tidak semakin jauh dari nilai-nilai budaya dan agama.

Harus bangkit kembali

Perubahan zaman memang tidak bisa dihindari, tetapi bukan berarti budaya lokal harus tersingkir begitu saja. Seni tradisional seperti seudati harus terus dijaga dan dikembangkan agar tetap relevan di tengah arus globalisasi yang semakin kuat.

Generasi muda Aceh seharusnya tidak hanya menjadi konsumen budaya luar, tetapi juga bangga dan aktif dalam melestarikan budayanya sendiri. Jika TikTok dan media sosial bisa mengubah tren dengan cepat, maka seudati juga bisa dihidupkan kembali dengan strategi yang tepat.

Masa depan seudati ada di tangan kita semua seniman, akademisi, pemerintah, dan tentu saja, generasi muda Aceh. Jika kita ingin seudati tetap hidup dan berkembang, maka kita harus mencari cara agar seni ini tidak hanya menjadi warisan masa lalu, tetapi juga bagian dari gaya hidup dan kebanggaan anak muda Aceh di masa depan.

Jangan sampai suatu hari nanti, kita hanya bisa mengenang seudati sebagai bagian dari sejarah yang sudah punah, sedangkan ‘dance challenge’ yang mempertaruhkan harga diri terus mendominasi layar anak-anak muda kita. Saatnya bangkit, saatnya menghidupkan kembali seudati di era digital! (*)



Artikel ini telah tayang di SerambiNews.com dengan judul Saat Seudati Kalah dari ‘Dance Challenge’ TikTok, Masa Depan Seni Aceh Berangsur Punah?, https://aceh.tribunnews.com/2025/05/09/saat-seudati-kalah-dari-dance-challenge-tiktok-masa-depan-seni-aceh-berangsur-punah.